Oleh Peter Bregman, hbr.org
Saya sedang berjalan kembali ke apartemen saya di Manhattan, saya menarik kopyah jaket dengan erat agar tidak terkena air hujan. Saat itu saya melihat seseorang yang sudah tua berjuang dengan tongkatnya untuk menuruni tangga licin di bangunan tempat ia tinggal.Ketika ia hampir jatuh, saya dan beberapa orang lain menolongnya.
Ada sebuah Access-A-Ride van (sebuah kendaraan Metropolitan Transit Authority untuk orang cacat tubuh) menunggu. Supirnya di dalam, tak kebasahan dan tak kedinginan, sembari melihat kami membantu penumpangnya untuk menyeberang jalan di tengah guyuran hujan.
Ia kemudian membuka jendela dan berteriak diirngi suara air hujan, “Mungkin ia tidak bisa ikut sekarang.”
“Tunggu,” kami berteriak (kami berlima) sembari membantu pria itu ke belakang mobil van, “ia bisa ikut.”
Lalu lintas di 84th street berhenti. Kami mencegah pria itu jatuh beberapa kali, membantunya berdiri, dan akhirnya membawanya ke pintu mobil van, yang kemudian dibukakan supir untuk mengeluarkan tangga. Pria dengan tongkat itu tak akan bisa ikut.
“Bagaimana dengan pintu samping, yang ada lift elektroniknya?” Saya bertanya.
“Oh ya,” sang supir menjawab, “tunggu.” Ia menutup kepalanya dengan mantel, keluar di bawah guyuran hujan bersama kami, dan mengoperasikan liftnya.
Ketika pria dengan tongkat tadi masuk dengan aman, kami mulai pergi ketika sang supir membuka jendela sekali lagi dan berteriak, “Terimakasih atas bantuannya."
Jadi inilah pertanyaan saya: Mengapa ada lima orang asing bersedia membantu seorang pria yang tak mereka kenal di tengah guyuran hujan - dan berpikir tentang lift elektronik sendiri - sementara supir yang digaji duduk dan menunggu saja?
Mungkin supir itu memang kurang ajar? Mungkin. Tapi saya pikir tidak. Ketika kami menyarankan menggunakan lift elektronik, ia tidak menolak atau mengeluh, ia keluar dan langsung mengoperasikannya. Ia juga tidak menjengkelkan. Ketika ia berterima kasih atas bantuan kami, ia kelihatan tulus.
Mungkin karena supir tidak diizinkan keluar dari kendaraan? Saya mengecek situs MTA untuk melihat apakah ada peraturan terkait bagaimana supir membantu penumpang. Sebaliknya, situs tersebut mengatakan “Selama supir tidak kehilangan pandangan dari kendaraannya, dan jaraknya tidak lebih dari 100 kaki dari kendaraan, supir bisa membantu keluar dan masuk kendaraan, naik dan turun tangga, dan membantu naik ke dalam kendaraan.”
Jadi mengapa sang supir tidak membantu? Sebagian jawabannya adalah mungkin bagi dia, seorang pria tua yang berjalan dengan tongkat bukanlah hal yang jarang, ia menemui orang seperti itu setiap hari, sehingga ia tidak merasa perlu menolong.
Tapi jawaban itu kurang bagus. Lagi pula, tugasnya memang harus membantu. Itulah ketika tiba-tiba terbersit dalam pikiran saya: Alasan mengapa supir tidak membantu adalah mungkin karena justru ia dibayar.
---
Silakan baca selengkapnya di link yang saya cantumkan.